Banyak perempuan di Pulau Baranglompo – sekitar 13 kilometer sebelah Barat Kota Makassar -- yang dipaksa keadaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, yang tidak sepenuhnya tertutupi oleh hasil usaha sang suami. Kisah Bibi Nio yang pertama kali mengenalkan bentor di pulau itu, hanya salah satu contoh.
Kisah kali ini tentang Muliati, seorang “wanita karir” yang lain di pulau itu. Dengan bermodalkan gerobak dorong dengan barang jualan yang dimodali oleh seorang ibu bernama Hj. Tallasa, ia pun berkeliling pulau. Sudah lima tahun ia menjalani usahanya.
Setelah selesai shalat dhuhur ia akan bergegas ke pelataran mesjid Al Ihsan. Di sana ia memulai berjualan setiap harinya. Mengapa Masjid? Sebab di siang hari, di masjid itu ada kurang lebih 200 anak yang mengikuti kelas Taman Pengajian Alquran.
Mama Muli, begitu id disapa oleh anak-anak itu, merasa beruntung bahwa Hj. Tallasa mau membantunya. Ia diberikan modal awal Rp500 ribu. Setiap hari ibu tiga anak ini harus menyetor Rp20.000 sampai 40 hari. Meskipun sangat jauh perbedaan keuntungannya, ia tak mempersoalkannya. Ia tak punya pilihan lain. Melalui Hj. Tallasa pula ia diberi keringanan tidak menyetor dalam sehari jika ia tak mampu, walaupun keesokan harinya ia menyetor bayaran dua hari.
Ada bantuan pemerintah untuk hal permodalan seperti itu. Namun Muli merasa kurang puas sebab jika menginginkan bantuan modal ia harus menggunakan jasa pengurus. Jumlah yang diminta Rp500 ribu namun yang sampai di tangannya hanyalah separuh. Sisanya masuk kantong si pengurus tadi.
Berbeda dengan wanita karir yang ada di kota-kota besar, Muli tak membutuhkan make up untuk memulai harinya. Potongan rambutnya yang pendek, celana pendek dan baju lengan pendek cukup baginya. Toh tak ada lagi kesempatan berganti pakaian setelah melakukan tugasnya di rumah dari pagi hingga sebelum dhuhur.
Pagi-pagi ia mengurus segala kebutuhan suami dan anak-anaknya sebelum mereka melakukan rutinitas masing-masing. Suaminya, Ilyas, bekerja sebagai anak buah kapal. Anak pertamanya Sainal, setamat SD, memilih ikut bekerja dengan bapaknya menjadi ABK cilik di kapal pengangkut penumpang dari Makassar ke Baranglompo. Kapal itu bernama Novita Sari. Meskipun usia Sainal masih tiga belas tahun, namun ia sudah mampu mengemudi kapal.
“Biasa tong ada orang yang tegurka, bilang kupekerjakan anak di bawah umur. Tapi yang mana kita pilih, daripada kubiarkan itu anak jadi pengangguran karena tidak mau tonji sekolah,” kata Haji Dahrin, pemilik kapal Novita Sari.
Sedangkan dua anak Muli, Saipul dan Saida kini duduk di bangku kelas yang sama, kelas lima.
“Itu anakku tidak ada yang tidak rangking,” ungkapnya sembari mengusap kepala Saipul yang baru saja tiba dari menjual air.
Penghasilan tambahan lain keluarga Muli adalah menjual air bersih. Sebagai pemilik kapal, Haji Dahrin merasa bartenggung jawab atas kesejahteraan anak buahnya. Ia memberikan jerigen sebanyak 10 buah pada keluarga Muli. Jerigen-jeringen itu untuk diisi air bersih dari Makassar dan dijual di Baranglompo. Sepulang sekolah Saipul berkeliling pulau menawarkan air itu, Rp2.000 per jerigen, seberat 35kg.
Haji Dahrin tak bisa menjamin cukup atau tidaknya gaji yang ia berikan pada Ilyas dan anaknya perbulan. “Bawa kapal beginian pasang surut istilahnya, karena pendapatan tidak menentu,” jelas Haji Dahrin. “Makanya kukasih jerigen, dan kugratiskan untuk biaya angkutannya dari Makassar ke pulau,” lanjutnya.
Sebelum menjadi pedagang keliling, Muli mencukupi kebutuhan keluarganya sebagai tukang cuci. Biasanya ia diupah Rp3000-Rp5000. Namun seiring berjalannya waktu kebutuhan keluarganya semakin bertambah. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan usahanya kini. Walaupun kadang-kadang ia masih biasa membantu mencucikan pakaian tetangganya.
“Sejak gadis kusuka mentong bantu-bantu orang, yang penting kan dapat uang halal,” tuturnya.
Jika tak banyak pekerjaan di rumah, Muli akan pergi mencuci pakaian orang yang meminta tolong padanya. Selanjutnya ia mulai mendorong gerobak dagangannya paling cepat pukul 12 siang. Lalu kembali ke rumah setelah magrib. Tentunya setelah ia mengelilingi pulau yang dihuni oleh kurang lebih 968 kepala keluarga itu.
Dagangan Muli bisa dikatakan serba ada. Roti, wafer, permen, krupuk, dan minuman dingin. Juga ada buah-buahan, salak, jambu merah, jambu putih, jeruk, mangga, apel, kedondong, mentimun, dan buah khas Makassar rappoliukang. Bahkan ia juga menjual telur rebus.
Setiap hari minggu Muli menyebrang ke Makassar untuk membeli barang dagangan tersebut. Kecuali buah apel dan mangga yang ia peroleh dari teman kecilnya yang bekerja sebagai pelayan toko buah yang ada di Jalan Sulawesi, Makassar. Ia dipercaya menjual kedua jenis buah itu,dengan system konsinyasi. Begitu pula dengan minuman dingin, adalah titipan tetangga Muli. Jika minuman laku misalnya Rp10.000 maka ia kan diberi imbalan Rp1000.
Tak jauh dari tempat Muli menjajakan barang dagangannya pada anak-anak pengajian, Yanti berdiri dengan gerobak sepeda, juga sedang menjajakan dagangan.
Bedanya jika Muli berada di dalam pekarangan masjid, Yanti memilih di luar pagar yang tidak terlalu tinggi, sehingga meskipun dari dalam pekarangan, pembeli tetap bisa menjangkaunya.
Yanti mengaku sudah sepuluh tahun menyambung hidup di pulau ini. Yanti sendiri lahir di Jawa. Pantas saja anak-anak memanggilnya dengan sebutan Mbak. Walaupun selintas ia sudah seperti penduduk asli Baranglompo. Bahasa yang ia gunakan tak seperti orang Jawa pada umumnya yang medhok. Yanti malah berlogat Makassar.
Di Baranglompo ia sudah beberapa kali berganti dagangan. Mulai dari bakso, batagor, sate, lalu kini ia menjual pentolan. Pentolan yang dimaksud adalah bakso atau nyoknyang dibalut dengan gorengan telur campur daun bawang dan daun seledri. Namun agak berbeda dengan pentolan yang dijajakan pada umumnya, Yanti memilih bakso tahu sebagai isi balutan telur goreng itu. Tak bisa dipungkiri naiknya harga barang yang membuatnya demikian. Lumayan, ia bisa meraup untung rata-rata Rp20.000 perhari. Sebagai tambahan untuk pendapatan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan.
Untuk bahan baku, Yanti tidak perlu repot menyebrang ke Makassar. Setiap hari ia bisa menitip barang belanjaan pada seorang yang bernama Daeng Nasir.
Yanti menceritakan kisah hidupnya di pulau itu. Awalnya kakak ipar Yanti yang berdagang di sana, namun merasa sudah lama meninggalkan kampung halaman, ia pun kembali dan menyarankan agar Yanti bersama kedua saudaranya ke sana. Di Baranglompo pula Yanti bertemu jodohnya, Musa, yang juga seorang perantau dari Kendari, Sulawesi Tenggara.
Walaupun sudah bertahun-tahun tercatat sebagai warga pulau, Yanti dan kedua saudarnya beserta keluarga masing-masing masih mengontrak rumah.
Yanti kini telah memiliki tiga orang anak. Yang sulung dan anak keduanya sudah duduk di bangku kelas dua. Usianya tidak beda jauh. Sedangkan anak bungsunya masih bayi.
Baik Muliati maupun Yanti, seperti perempuan lainnya di pulau itu, juga tidak lupa pada kegiatan arisan bulanan. Kegiatan ini selalu ramai oleh ibu-ibu se-kelurahan. Tiap hari minggu awal bulan acara ini diadakan di kantor lurah. Ini menjadi ajang bersilaturahminya para ibu-ibu pulau. Arisan itu sebenarnya bukan per-kelurahan, melainkan per-RT. Namun diadakan secara bersamaan di kantor lurah, selanjutnya diundi per-RT.
“Bisa kita bayangkan kantor lurah yang tidak seberapa besarnya itu dibanjiri kurang lebih dua ratus ibu-ibu,” kata Ridwan, kepala asrama Universitas Hasanuddin di Baranglompo yang letak rumahnya berada di depan kantor lurah.(p!)
Selasa, 28 Oktober 2008
Rabu, 15-10-2008
Di sela kegiatannya memintal benang yang selanjutnya ditenun menjadi ikat-kain khas Toraja, Ori wanita berumur 42 tahun juga dengan lincah meramu “cemilan” hariannya. Secuil bolu buah (buah sirih) ditambahkan sedikit kapur sirih, lalu dibungkus daun sirih. Sesederhana ini. Ori lalu memulai ma’pangan, menggosok gigi dengan sirih. Wajahnya tampak bersemangat, tangan kiri memintal benang dan tangan kanan menggosok gigi. Dua pekerjaan dilakukan dalam satu waktu, suatu perpaduan yang menarik.
Ori mengaku sejak berumur 10 tahun melakukan rutinitas spesial satu ini. Ma’pangan. Saat itu ia sakit gigi, orang tuanya memberi solusi untuk memakai sirih sebagai obat. Alhasih sembuh dan ia ketagihan. Sudah 32 tahun lamanya ia tak pernah mengeluhkan terjadi sesuatu pada giginya. Bahkan ia merasa deretan giginya semakin kokoh karena ma’pangan. Buktinya hingga kini, giginya tak ada yang ompong.
“Lebih baik tidak makan daripada tidak ma’pangan,” katanya.
Lain lagi halnya dengan Bunga,35 tahun. Sekitar usia 17 tahun ia mencoba sirih lantaran ikut-ikutan teman sebayanya. Meski awalnya ia muntah-muntah, namun hingga kini wanita yang berprofesi sebagai penenun itu tetap bertahan ma’pangan.
Di Toraja, pemandangan ibu-ibu mengunyah sirih bukanlah hal asing. Setiap hari Anda bisa mendapati ibu-ibu melakukan rutinitas unik ini. Terlebih pada saat ada acara besar, seperti rambu solo (upacara kematian masyarakat Toraja) dan rambu tuka (pesta pernikahan dan ulang tahun). Jika untuk kaum pria disediakan rokok, maka untuk kaum wanita akan tersedia segala bahan untuk ma’pangan.
Pada hari pasar di Makale, Anda bisa menemui kurang lebih 20 penjual bahan ma’pangan. Para pedagang ini berasal dari berbagai daerah pelosok Toraja. Namun jika di hari biasa, para pedagang sirih adalah orang-orang dari sekitar pasar Makale. Salah satunya Nisa, 25 tahun.
Bisa dikatakan dagangan Nisa lengkap untuk kebutuhan Ma’pangan. Bolu (Daun Sirih, Piper Betie), Kapur Sirih, Gatta (Gambir, Uncaria Gambir), Kalosi (Pinang, Arecha Catechu), dan Bolu Buah (buah sirih). Kelima bahan tadi adalah bahan ma’pangan terlengkap. Namun terkadang para penikmat sirih tak menggunakan seluruh bahan tersebut.
Lima bahan di atas baru untuk tahap awal ma’pangan. Penikmat ma’pangan menelan liur pertama yang dihasilkan dari kunyahan daun sirih dan kawan-kawan. Setelah itu air liur terserap daun tembakau kering. Begitu seterusnya, seraya sirih dikunyah, tembakau digosokkan ke gigi agar air liur tidak jatuh karena melengket di tembakau. Setelah sari daun sirih habis atau tak lagi menghasilkan air liur, ampasnya dibuang. Proses ma’pangan ini biasanya menghabiskan waktu 30 menit.
Meskipun kesehariannya bergelut dengan sirih, namun Nisa bukanlah orang yang senang mengunyah sirih. Pernah ia mencoba, namun yang ia rasakan bukannya ketagihan, malah rasa pusing dan akhirnya ia muntah-muntah. Rasa sirih yang sangat pekat membuatnya tidak terbiasa dan asing.
Kurang lebih sudah 4 tahun Nisa menggeluti pekerjaan ini. Bahan yang tahan lama dan tidak merepotkan adalah alasan Nisa menekuni berdagang sirih. Rata-rata bahan ma’pangan dapat bertahan selama 2 pekan. Bahkan daun tembakau bisa bertahan selama bertahun-tahun. Selain itu pemakaian daun tembakau ini sangatlah hemat. Setelah dipakai, dijemur, lalu bisa dipakai sekali lagi.
Berdagang sirih bisa dikatakan menguntungkan. Walaupun pembelinya kebanyakan hanya wanita berumur 35 tahun ke atas. Namun setiap hari selalu saja ada penggemar sirih datang mencari. Terutama daun sirih dan buah pinang. Juga pada bulan-bulan tertentu, seperti September (yang dikenal musim kopi di Toraja) dan bulan Desember (Natal dan Tahun Baru), sirih dan kawan-kawan senantiasa naik daun. Lagipula Nisa tak perlu repot mengunjungi tempat pedagang utama sirih untuk berjualan, sebab distributornya akan datang setiap hari pasar untuk menwarkan dagangan.
Tiga alasan utama mengapa ma’pangan masih digemari hingga kini. Orang tua dulu percaya bahwa sirih akan menguatkan gigi, menghilangkan bau mulut, dan sarinya menjadikan tubuh bersih dari dalam. Meskipun kadang gigi akan merah kehitaman yang diakibatkan oleh kapur. Namun kulit dari buh pinang bisa mengatasinya. Kulit pinang digunakan sebagai penggosok gigi setelah kegiatan ma’pangan usai.
Selain untuk ma’pangan, barang dagangan Nisa juga dicari-cari untuk keperluan lain. Seperti daun sirih yng bisa menjadi pembersih mata. Buah pinang sebagai obat sakit gigi. Buah sirih untuk mengobati jerawat, sariawan, dan lever. Serta gambir untuk obat penyakit maag.
Harga bahan-bahan ma’pangan ini pun relatif murah. Daun sirih per ikat yang biasanya berisi 10 lembar hanya Rp500. Kapur sirih perbungkusnya Rp2000, tentunya ini sangatlah murah sebab sekali pakai yang digunakan sangatlah sedikit. Buah pinang satu takar seharga Rp5000 isinya kurang lebih 25 biji. Sebiji gambir hanyalah Rp1000 dan digunakan secuil sekali pakai. Sama halnya dengan gambir, buah bolu yang dipakai secuil seharga Rp5000 per ikat dan isinya 30 biji. Terakhir tembakau ukuran kecil seharga Rp3000 per 3 lembar, sedangkan untuk ukuran besar Rp5000 per 4 lembar. Jadi bisa dikira-kira satu kali ma’pangan hanya menghabiskan uang Rp500.
Bagaimana? Anda tertarik untuk mencoba cemilan satu ini? Dijamin tidak menjadikan berat badan anda bertambah.(p!)
Ori mengaku sejak berumur 10 tahun melakukan rutinitas spesial satu ini. Ma’pangan. Saat itu ia sakit gigi, orang tuanya memberi solusi untuk memakai sirih sebagai obat. Alhasih sembuh dan ia ketagihan. Sudah 32 tahun lamanya ia tak pernah mengeluhkan terjadi sesuatu pada giginya. Bahkan ia merasa deretan giginya semakin kokoh karena ma’pangan. Buktinya hingga kini, giginya tak ada yang ompong.
“Lebih baik tidak makan daripada tidak ma’pangan,” katanya.
Lain lagi halnya dengan Bunga,35 tahun. Sekitar usia 17 tahun ia mencoba sirih lantaran ikut-ikutan teman sebayanya. Meski awalnya ia muntah-muntah, namun hingga kini wanita yang berprofesi sebagai penenun itu tetap bertahan ma’pangan.
Di Toraja, pemandangan ibu-ibu mengunyah sirih bukanlah hal asing. Setiap hari Anda bisa mendapati ibu-ibu melakukan rutinitas unik ini. Terlebih pada saat ada acara besar, seperti rambu solo (upacara kematian masyarakat Toraja) dan rambu tuka (pesta pernikahan dan ulang tahun). Jika untuk kaum pria disediakan rokok, maka untuk kaum wanita akan tersedia segala bahan untuk ma’pangan.
Pada hari pasar di Makale, Anda bisa menemui kurang lebih 20 penjual bahan ma’pangan. Para pedagang ini berasal dari berbagai daerah pelosok Toraja. Namun jika di hari biasa, para pedagang sirih adalah orang-orang dari sekitar pasar Makale. Salah satunya Nisa, 25 tahun.
Bisa dikatakan dagangan Nisa lengkap untuk kebutuhan Ma’pangan. Bolu (Daun Sirih, Piper Betie), Kapur Sirih, Gatta (Gambir, Uncaria Gambir), Kalosi (Pinang, Arecha Catechu), dan Bolu Buah (buah sirih). Kelima bahan tadi adalah bahan ma’pangan terlengkap. Namun terkadang para penikmat sirih tak menggunakan seluruh bahan tersebut.
Lima bahan di atas baru untuk tahap awal ma’pangan. Penikmat ma’pangan menelan liur pertama yang dihasilkan dari kunyahan daun sirih dan kawan-kawan. Setelah itu air liur terserap daun tembakau kering. Begitu seterusnya, seraya sirih dikunyah, tembakau digosokkan ke gigi agar air liur tidak jatuh karena melengket di tembakau. Setelah sari daun sirih habis atau tak lagi menghasilkan air liur, ampasnya dibuang. Proses ma’pangan ini biasanya menghabiskan waktu 30 menit.
Meskipun kesehariannya bergelut dengan sirih, namun Nisa bukanlah orang yang senang mengunyah sirih. Pernah ia mencoba, namun yang ia rasakan bukannya ketagihan, malah rasa pusing dan akhirnya ia muntah-muntah. Rasa sirih yang sangat pekat membuatnya tidak terbiasa dan asing.
Kurang lebih sudah 4 tahun Nisa menggeluti pekerjaan ini. Bahan yang tahan lama dan tidak merepotkan adalah alasan Nisa menekuni berdagang sirih. Rata-rata bahan ma’pangan dapat bertahan selama 2 pekan. Bahkan daun tembakau bisa bertahan selama bertahun-tahun. Selain itu pemakaian daun tembakau ini sangatlah hemat. Setelah dipakai, dijemur, lalu bisa dipakai sekali lagi.
Berdagang sirih bisa dikatakan menguntungkan. Walaupun pembelinya kebanyakan hanya wanita berumur 35 tahun ke atas. Namun setiap hari selalu saja ada penggemar sirih datang mencari. Terutama daun sirih dan buah pinang. Juga pada bulan-bulan tertentu, seperti September (yang dikenal musim kopi di Toraja) dan bulan Desember (Natal dan Tahun Baru), sirih dan kawan-kawan senantiasa naik daun. Lagipula Nisa tak perlu repot mengunjungi tempat pedagang utama sirih untuk berjualan, sebab distributornya akan datang setiap hari pasar untuk menwarkan dagangan.
Tiga alasan utama mengapa ma’pangan masih digemari hingga kini. Orang tua dulu percaya bahwa sirih akan menguatkan gigi, menghilangkan bau mulut, dan sarinya menjadikan tubuh bersih dari dalam. Meskipun kadang gigi akan merah kehitaman yang diakibatkan oleh kapur. Namun kulit dari buh pinang bisa mengatasinya. Kulit pinang digunakan sebagai penggosok gigi setelah kegiatan ma’pangan usai.
Selain untuk ma’pangan, barang dagangan Nisa juga dicari-cari untuk keperluan lain. Seperti daun sirih yng bisa menjadi pembersih mata. Buah pinang sebagai obat sakit gigi. Buah sirih untuk mengobati jerawat, sariawan, dan lever. Serta gambir untuk obat penyakit maag.
Harga bahan-bahan ma’pangan ini pun relatif murah. Daun sirih per ikat yang biasanya berisi 10 lembar hanya Rp500. Kapur sirih perbungkusnya Rp2000, tentunya ini sangatlah murah sebab sekali pakai yang digunakan sangatlah sedikit. Buah pinang satu takar seharga Rp5000 isinya kurang lebih 25 biji. Sebiji gambir hanyalah Rp1000 dan digunakan secuil sekali pakai. Sama halnya dengan gambir, buah bolu yang dipakai secuil seharga Rp5000 per ikat dan isinya 30 biji. Terakhir tembakau ukuran kecil seharga Rp3000 per 3 lembar, sedangkan untuk ukuran besar Rp5000 per 4 lembar. Jadi bisa dikira-kira satu kali ma’pangan hanya menghabiskan uang Rp500.
Bagaimana? Anda tertarik untuk mencoba cemilan satu ini? Dijamin tidak menjadikan berat badan anda bertambah.(p!)
Selasa, 16-09-2008
Indahnya kerukunan antar umat beragama. Kalimat inilah yang saya dengung-dengungkan sepulang mengunjungi festival Buddhist di Mall GTC Makassar tanggal 22-31 agustus lalu. Bagaimana tidak, banyak hal menarik yang saya temui di sana. Bertemu dengan orang yang sama sekali tidak saya kenal membuat saya bertambah teman yang datang dari latar belakang yang berbeda. Pengetahuan dan pengalaman pun turut menghiasi catatan harianku. Sebagai orang awam tentang agama Buddha tentu saja saya sangat senang atas diadakannya festival Buddhist ini. Saya bisa mendapat informasi lebih banyak tentang agama Buddha.
Memasuki pintu masuk saya merasa asing, sangat asing. Hari itu, 30 agustus 2008 sore, saya satu-satunya pengunjung yang tidak bermata sipit, berkulit gelap dan memakai jilbab. Saya bisa melihat tatapan heran pengunjung lain pada saya. Apalagi saya seorang diri. Wajar menurut saya. Saya menikmati diorama perjalanan hidup Buddha sebagai sambutan pada pameran ini. Tata letaknya sangat menarik perhatian. Ada anak panah yang menjadi pengiring perjalanan pameran ini. Saya merasa seperti berpetualang di dunia lain saja, sebab semuanya asing. Setelah melewati diorama, dua Bikkhu dari Tibet dan Nepal menyambut ramah. Meski tak mampu berbahasa Indonesia, setidaknya saya bisa berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa Inggris sekedar menanyakan apa yang mereka lakukan. Sang Bikkhu dari Tibet jago melukis sedangkan Sang Bikkhu dari Nepal sedang serius membuat patung Buddha dari tanah liat yang bahannya ia bawa dari Surabaya. Ini pertama kalinya saya bertemu secara langsung dengan seorang Bikkhu.
Setelah meninggalkan dua Bikkhu tadi, saya melanjutkan perjalanan menyusuri alur festival ini. Ruang Tipitaka adalah tempat selanjutnya. Di ruang ini saya bertemu dengan salah satu panitia relawan bernama Bumi. Pemilik toko Bumi Komputer ini mengaku senang sekali bergabung menjadi bagian acara ini. Awalnya ada 100 orang yang mendaftar menjadi relawan di festival ini, tapi semakin hari semakin berkurang. Bumi sendiri merasa bertanggung jawab, ia setiap hari meluangkan waktunya menjadi pemandu pengunjung di ruang Kitab Suci Pitaka.
Motivasinya bergabung menjadi relawan adalah untuk memperjelas segala sesuatu yang kabur dalam hal pengenalan agama Buddha dan memberikan edukasi pada pengunjung. Sore itu, saya banyak mendapat penjelasan dari Bumi. Hal yang membuat saya berdecak kagum, karena panitia berusaha keras menjadikan kegiatan ini sebagai sarana edukasi.
Berbagai contoh kitab suci yang sengaja didatangkan dari Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand agar bisa dilihat secara langsung oleh pengunjung. Tak ketinggalan sederet rak yang dipenuhi kumpulan kitab suci yang berbahasa Mandarin.
Di ruang ini saya banyak mendapat penjelasan tentang panjangnya kitab suci agama Buddha. Kisah yang dipajang pada diorama saja yang menurutku lumayan panjang, dalam kitab suci Pitaka tertuang dalam satu bab saja, yaitu Bab 14. Bab ini dibukukan hasilnya berjumlah 3 buah buku yang masing-masing ketebalannya menyaingi buku Harry Potter and The Order of The Phoenix. Tipitaka sendiri berarti 3 keranjang. Berisi 84.000 pokok bahasan, itu selama 45 tahun Buddha mengajar. Sedangkan orang yang melakukan tradisi menghapal kitab suci disebut Tipitakadhara. Dari ruang ini pula saya diberi penjelasan tentang sejarah hadirnya patung Buddha. 500 tahun setelah sang Buddha wafat, ada seorang Bikkhu yang sengaja membuat patung sang Buddha dikarenakan ia sangat sulit mengimajinasikan bagaimana rupa sang Buddha.
Oleh Bumi juga saya dijelaskan tentang 3 aliran dalam agama Buddha. Ketiga aliran itu masing-masing menghadirkan patung Budddha yang berbeda di lokasi pameran. Ada Therevada, Mahayana, dan Tantrayana.
Dari ruang kitab suci saya berangkat menuju ruang relik. Ruangannya tertata dengan rapi dan menawan. Sangat tampak suci karena semua perlengkapan puja, yaitu Patung Buddha, lilin, bunga, buah, dan air ada di ruang itu. Juga dijelaskan tentang makna tiap warna yang menjadi wadah lilin-lilin tersebut yang mewakili warna bendera Buddha. Biru berarti bakti, kuning bijaksana, merah cinta kasih, putih kesucian, dan jingga kegiatan.
Setelah berkeliling, mengikuti alur pameran sampailah saya pada tempat patung Buddha terbesar yang telah mendapat rekor MURI. Di depan patung ini, adalah ruang yang sejak awal membuat saya ingin segera memasukinya. Saya tak sabar menukarkan potongan karcis saya dengan sebuah buku. Senang rasanya mendapat pengetahuan baru plus buku gratis.
Siapa di balik festival ini?
Adalah BEC sebagai pelaksana utama acara ini. BEC (Buddhist Education Centre) adalah komunitas non wihara yang bertujuan memberikan informasi yang benar tentang agama Buddha. Komunitas ini berpusat di Surabaya. Makassar adalah lokasi kedua setelah Surabaya diadakannya festival seperti ini. Festival di Surabaya berlangsung pada tanggal 25-30 juni 2008. Setelah Makassar, kota Manado, Jakarta, dan Pekan Baru pun bersiap mengadakan acara yang sama. Semua media pameran BEC lah yang menyediakan.
Sedangkan panitia dari Makassar sendiri menyediakan segala peralatan yang diperlukan di lapangan seperti notebook, televisi, dan rantai pembatas. Kegiatan ini sekaligus menjadi ajang silaturrahmi bagi mereka panitia yang berdomisili di Surabaya dan Makassar. Bisa saling mengenal sesama adalah hal yang membahagiakan.
Kegiatan festival ini adalah even lima tahunan. Pertama kali diadakan pada tahun 2003. Tahun ini pulalah resmi terbentuknya BEC sebagai pusat menemukan informasi mengenai agama Buddha itu sendiri. Banyaknyanya aliran menjadi alasan didirikannya komunitas ini, BEC berinisiatif menjadi jalan tengah untuk itu. BEC mengambil banyak pelajaran dari Master Haitou seorang Bikkhu Taiwan yang merasa perlunya didirikan komunitas pemersatu tanpa memandang aliran-aliran tertentu.
Saat ini ketua komunitas BEC adalah Sutanto Adi. Sedangkan yang menjadi staf lapangan pada kegiatan ini salah satunya Yuska. Ia sendiri adalah seorang penganut agama Islam. Ia sudah dua tahun mengabdikan diri pada BEC untuk membantu mereka yang membutuhkan informasi tentang agama Buddha.
“Apapun itu, menurut saya semua nilai kebaikan itu harus didukung. Saya juga tahu batasan-batasan posisi saya di sini. Saya senang mendukung niat baik komunitas ini,” kata Yuska dengan logat arek-arek Suroboyo yang kental.
“Agama itu kan adalah rambu-rambu yang mengantarkan kita mejadi bahagia dan damai. Sebelum bergabung di sini saya banyak membatu kegiatan penganut agama Kristen. Bukankah itu indah? Saya tetap pada agama saya, dan mereka juga pada agama mereka. Persaudaraan itu tak memandang apapun, termasuk agama,” lanjutnya.
Sungguh pengalaman menikmati keragaman beragama di pameran ini membuat hati saya tergetat. (p!)
Memasuki pintu masuk saya merasa asing, sangat asing. Hari itu, 30 agustus 2008 sore, saya satu-satunya pengunjung yang tidak bermata sipit, berkulit gelap dan memakai jilbab. Saya bisa melihat tatapan heran pengunjung lain pada saya. Apalagi saya seorang diri. Wajar menurut saya. Saya menikmati diorama perjalanan hidup Buddha sebagai sambutan pada pameran ini. Tata letaknya sangat menarik perhatian. Ada anak panah yang menjadi pengiring perjalanan pameran ini. Saya merasa seperti berpetualang di dunia lain saja, sebab semuanya asing. Setelah melewati diorama, dua Bikkhu dari Tibet dan Nepal menyambut ramah. Meski tak mampu berbahasa Indonesia, setidaknya saya bisa berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa Inggris sekedar menanyakan apa yang mereka lakukan. Sang Bikkhu dari Tibet jago melukis sedangkan Sang Bikkhu dari Nepal sedang serius membuat patung Buddha dari tanah liat yang bahannya ia bawa dari Surabaya. Ini pertama kalinya saya bertemu secara langsung dengan seorang Bikkhu.
Setelah meninggalkan dua Bikkhu tadi, saya melanjutkan perjalanan menyusuri alur festival ini. Ruang Tipitaka adalah tempat selanjutnya. Di ruang ini saya bertemu dengan salah satu panitia relawan bernama Bumi. Pemilik toko Bumi Komputer ini mengaku senang sekali bergabung menjadi bagian acara ini. Awalnya ada 100 orang yang mendaftar menjadi relawan di festival ini, tapi semakin hari semakin berkurang. Bumi sendiri merasa bertanggung jawab, ia setiap hari meluangkan waktunya menjadi pemandu pengunjung di ruang Kitab Suci Pitaka.
Motivasinya bergabung menjadi relawan adalah untuk memperjelas segala sesuatu yang kabur dalam hal pengenalan agama Buddha dan memberikan edukasi pada pengunjung. Sore itu, saya banyak mendapat penjelasan dari Bumi. Hal yang membuat saya berdecak kagum, karena panitia berusaha keras menjadikan kegiatan ini sebagai sarana edukasi.
Berbagai contoh kitab suci yang sengaja didatangkan dari Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand agar bisa dilihat secara langsung oleh pengunjung. Tak ketinggalan sederet rak yang dipenuhi kumpulan kitab suci yang berbahasa Mandarin.
Di ruang ini saya banyak mendapat penjelasan tentang panjangnya kitab suci agama Buddha. Kisah yang dipajang pada diorama saja yang menurutku lumayan panjang, dalam kitab suci Pitaka tertuang dalam satu bab saja, yaitu Bab 14. Bab ini dibukukan hasilnya berjumlah 3 buah buku yang masing-masing ketebalannya menyaingi buku Harry Potter and The Order of The Phoenix. Tipitaka sendiri berarti 3 keranjang. Berisi 84.000 pokok bahasan, itu selama 45 tahun Buddha mengajar. Sedangkan orang yang melakukan tradisi menghapal kitab suci disebut Tipitakadhara. Dari ruang ini pula saya diberi penjelasan tentang sejarah hadirnya patung Buddha. 500 tahun setelah sang Buddha wafat, ada seorang Bikkhu yang sengaja membuat patung sang Buddha dikarenakan ia sangat sulit mengimajinasikan bagaimana rupa sang Buddha.
Oleh Bumi juga saya dijelaskan tentang 3 aliran dalam agama Buddha. Ketiga aliran itu masing-masing menghadirkan patung Budddha yang berbeda di lokasi pameran. Ada Therevada, Mahayana, dan Tantrayana.
Dari ruang kitab suci saya berangkat menuju ruang relik. Ruangannya tertata dengan rapi dan menawan. Sangat tampak suci karena semua perlengkapan puja, yaitu Patung Buddha, lilin, bunga, buah, dan air ada di ruang itu. Juga dijelaskan tentang makna tiap warna yang menjadi wadah lilin-lilin tersebut yang mewakili warna bendera Buddha. Biru berarti bakti, kuning bijaksana, merah cinta kasih, putih kesucian, dan jingga kegiatan.
Setelah berkeliling, mengikuti alur pameran sampailah saya pada tempat patung Buddha terbesar yang telah mendapat rekor MURI. Di depan patung ini, adalah ruang yang sejak awal membuat saya ingin segera memasukinya. Saya tak sabar menukarkan potongan karcis saya dengan sebuah buku. Senang rasanya mendapat pengetahuan baru plus buku gratis.
Siapa di balik festival ini?
Adalah BEC sebagai pelaksana utama acara ini. BEC (Buddhist Education Centre) adalah komunitas non wihara yang bertujuan memberikan informasi yang benar tentang agama Buddha. Komunitas ini berpusat di Surabaya. Makassar adalah lokasi kedua setelah Surabaya diadakannya festival seperti ini. Festival di Surabaya berlangsung pada tanggal 25-30 juni 2008. Setelah Makassar, kota Manado, Jakarta, dan Pekan Baru pun bersiap mengadakan acara yang sama. Semua media pameran BEC lah yang menyediakan.
Sedangkan panitia dari Makassar sendiri menyediakan segala peralatan yang diperlukan di lapangan seperti notebook, televisi, dan rantai pembatas. Kegiatan ini sekaligus menjadi ajang silaturrahmi bagi mereka panitia yang berdomisili di Surabaya dan Makassar. Bisa saling mengenal sesama adalah hal yang membahagiakan.
Kegiatan festival ini adalah even lima tahunan. Pertama kali diadakan pada tahun 2003. Tahun ini pulalah resmi terbentuknya BEC sebagai pusat menemukan informasi mengenai agama Buddha itu sendiri. Banyaknyanya aliran menjadi alasan didirikannya komunitas ini, BEC berinisiatif menjadi jalan tengah untuk itu. BEC mengambil banyak pelajaran dari Master Haitou seorang Bikkhu Taiwan yang merasa perlunya didirikan komunitas pemersatu tanpa memandang aliran-aliran tertentu.
Saat ini ketua komunitas BEC adalah Sutanto Adi. Sedangkan yang menjadi staf lapangan pada kegiatan ini salah satunya Yuska. Ia sendiri adalah seorang penganut agama Islam. Ia sudah dua tahun mengabdikan diri pada BEC untuk membantu mereka yang membutuhkan informasi tentang agama Buddha.
“Apapun itu, menurut saya semua nilai kebaikan itu harus didukung. Saya juga tahu batasan-batasan posisi saya di sini. Saya senang mendukung niat baik komunitas ini,” kata Yuska dengan logat arek-arek Suroboyo yang kental.
“Agama itu kan adalah rambu-rambu yang mengantarkan kita mejadi bahagia dan damai. Sebelum bergabung di sini saya banyak membatu kegiatan penganut agama Kristen. Bukankah itu indah? Saya tetap pada agama saya, dan mereka juga pada agama mereka. Persaudaraan itu tak memandang apapun, termasuk agama,” lanjutnya.
Sungguh pengalaman menikmati keragaman beragama di pameran ini membuat hati saya tergetat. (p!)
Rabu, 20-08-2008
Dua bulan yang lalu saya mendapat hadiah sarung sutra dari ibu. Katanya bukan orang Sengkang Wajo kalau tidak punya sa’be, begitu orang Bugis menyebut kain sutra. Namun ketika saya memperlihatkannya pada seorang tante, ia bilang hadiah itu bukanlah sutra asli. Kainnya terlalu lembek.
Akhirnya dalam kesempatan liburan ke Sengkang bulan lalu, saya pulang kampung membawa sarung sutra itu. Tujuan saya, menemui penenun sutra di kabupaten Wajo untuk mencari tahu, seperti apa gerangan sutra yang asli itu.
Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo dikenal sebagai kota sutra. Kabupaten ini memang penghasil sutra utama di Sulawesi Selatan. Hampir setiap kecamatan memiliki usaha tenun.
Di sejumlah kawasan kota Sengkang, kita akan disambut dengan ramainya suara alat tenun yang ada hampir di setiap kolong rumah penduduk.
Taktak…tuktuk..taktak…tuktuk… Begitu bunyi alat tenun tradisional itu.
Jika ingin melihat kegiatan penenun yang paling ramai, Anda bisa mengunjungi Sempange. Di sana Anda sekaligus bisa berbelanja sutra secara langsung dari pemilik pusat pertenunan. Ada beberapa toko sutra terkenal di daerah yang terletak di perbatasan kota Sengkang ini.
Namun untuk membandingkan keaslian sutra milik saya ini, saya lebih memilih mengunjungi desa Pasaka, kecamatan Sabbangparu. Di sana saya punya banyak sanak keluarga yang berprofesi sebagai penenun. Jumlah penenun di desa ini tak kalah banyak dibandingkan di Sempange. Hanya saja nama desa ini kurang dikenal karena letaknya lumayan terpencil dari kota Sengkang. Lagipula jalanan menuju desa ini belum mulus. Karena letaknya tak jauh dari sungai, maka bila sungai meluap di musim hujan, terkadang air naik ke permukaan jalanan.
Di rumah seorang tante di desa Pasaka terdapat alat tenun. Orang Bugis menyebutnya tennung bola-bola yang arti harfiahnya “alat tenun rumah-rumahan” –mungkin karena modelnya seperti kerangka rumah atau karena ditempatkan di kolong rumah. Saya lalu memperlihatkan sarung sutra hadiah dari ibu itu. Beberapa penenun yang sedang berkumpul beristirahat secara bersamaan mengatakan itu bukan sarung sutra asli, meski bahannya sutra juga.
“Tongeng sa makkeda sa’be ero, tapi’na narekko idi pakkibu sa’be masitta yisseng makkeda palsunna ero.”
Maksudnya, “Memang itu adalah sutra, tapi kami yang penenun sangat mudah mengetahui ini sutra palsun.” Demikian kata salah seorang penenun di sana.
Saat ini kebanyakan penenun sutra Sengkang tak lagi menenun benang sutra asli dalam negeri. Juga tak semua komponen kain berbahan sutra. Hal ini dikarenakan produsen benang sutra dalam negeri sudah sulit ditemukan. Tentunya harga bahan bakulah yang menyebabkan hal itu terjadi. Mau tak mau para penenun pun harus mencari akal agar tak rugi.
Immas, salah satu penenun sutra di desa Pasaka sedang mengerjakan tenunan dengan benang sutra India. Jenis kain yang ia buat pun bukanlah sarung. Melainkan kain untuk bahan pakaian.
Menenun adalah pekerjaan yang sulit. Sebelum memulai kegiatan dorong tarik jakka tennung atau sisir tenun, benang helai per helai dimasukkan dalam tiap are’. Selanjutnya helai per helai kembali dimasukkan dalam sisir tenun. Ini khusus untuk tennung bola-bola atau tenun rumah-rumahan.
Biasanya tennung bola-bola lebih banyak digunakan untuk membuat berpuluh meter kain. Sedangkan untuk membuat sarung menggunakan tennung walida, tenunan ini tidak terlalu banyak menggunakan alat besar dan rumit seperti tennung bola-bola.
Namun Immas lebih memilih menenun menggunakan tennung bola-bola karena menggunakan alat ini ia tak perlu mengeluarkan modal materi sepeser pun. Segala sesuatunya dibiayai oleh tetangganya yang memang disebut bos tennung. Mulai dari alat tenun sampai pada benang ditanggung oleh sang pemilik tenunan. Immas hanya tinggal menenun benang yang telah disediakan.
Bos tennung Immas bernama Cora. Ia memiliki banyak tennung bola-bola dan dipinjamkan pada orang-orang yang ingin menenun. Immas membawa tennung bola-bola pinjaman Cora ke kolong rumahnya agar ia bisa leluasa mengerjakan pekerjaan rumah di sela kesibukannya menenun.
Kali ini Cora memberikan pekerjaan tenun kain sepanjang 150 meter kepada Immas. Dalam sehari Immas hanya mampu menenun sepanjang 4- 5 meter. Perempuan berusia 23 tahun ini mengaku belum terlalu lihai menenun, jika dipaksa untuk menenun banyak, hasilnya tidak akan memuaskan. Kadang-kadang setelah cukup 20 meter, Cora akan datang untuk memotong kain yang telah jadi. Immas digaji Rp2500 per meter. Sedangkan hasil tenunan Immas dijual seharga Rp25.000 per meter. Tentu saja keuntungan penjualan itu menjadi hak bos tennung sepenuhnya.
Sebagian besar perempuan seusia Immas dan belum berkeluarga di desa ini lebih memilih menjalani profesi penenun. Meskipun ada satu dua yang bekerja di kota Sengkang sebagai penjaga toko. Mereka merasa terbantu dengan kehadiran para bos tennung. Katanya, lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Di desa ini saya juga bertemu penenun yang sudah renta. Ia dipanggil Fukkami’ oleh orang yang lebih muda.
Di wilayah kampung Wage-nama dulu desa Pasaka, Fukkami’ adalah satu-satunya penenun berusia lanjut yang masih menenun. Namun ia lebih memilih memakai tennung walida karena ia bisa menenun di teras rumahnya. Mengingat ia juga tidak terlalu banyak memiliki tenaga untuk menginjak ajena tennung bola-bola, pedal yang harus secara terus menerus diinjak oleh penenun.
Kini, Fukkami’ adalah satu-satunya penenun yang masih menggunakan tennung walida di desa ini. Menenun dengan menggunakan tennung walida membutuhkan banyak proses. Tenunan ini milik Fukkami’ pribadi. Seluruh proses produksi hingga penjualan, ditangani sendiri oleh perempuan ini.
Untuk membuat sebuah sarung sutra, Fukkami’ membutuhkan waktu 10-30 hari. Sarung yang ia buat adalah sarung sutra asli. Selembar sarung ia jual seharga Rp300.000-Rp400.000. Dari hasil penjualan selembar sarung saja, ia mengaku sangat terbantu untuk membiayai hidupnya seorang diri, setelah suaminya meninggal dan anak-anaknya merantau di Kalimantan.
“Biasanya banyak orang seumuranku menenun tetapi kini semuanya sibuk mengurus anaknya. Saya sendirian saja, tidak lagi mengurus apa-apa,” tutur Fukkami’ sambil memperlihatkan beberapa sarung karyanya.
Sayang sekali ketika saya datang, Fukkami’ telah merapikan seluruh alat tenunnya. Ia baru saja selesai mengerjakan selembar sarung sutra.
Saat saya membandingkan sarung sutra yang ada di tangan, ternyata memang sangat berbeda sarung sutra buatan Fukkami’. Sarung buatannya mengkilap dan agak keras. Sedangkan milikku lembek dan tidak memancarkan kilau.
Ah, hadiah darimu bukan sutra asli, Ibu! (p!)
Akhirnya dalam kesempatan liburan ke Sengkang bulan lalu, saya pulang kampung membawa sarung sutra itu. Tujuan saya, menemui penenun sutra di kabupaten Wajo untuk mencari tahu, seperti apa gerangan sutra yang asli itu.
Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo dikenal sebagai kota sutra. Kabupaten ini memang penghasil sutra utama di Sulawesi Selatan. Hampir setiap kecamatan memiliki usaha tenun.
Di sejumlah kawasan kota Sengkang, kita akan disambut dengan ramainya suara alat tenun yang ada hampir di setiap kolong rumah penduduk.
Taktak…tuktuk..taktak…tuktuk… Begitu bunyi alat tenun tradisional itu.
Jika ingin melihat kegiatan penenun yang paling ramai, Anda bisa mengunjungi Sempange. Di sana Anda sekaligus bisa berbelanja sutra secara langsung dari pemilik pusat pertenunan. Ada beberapa toko sutra terkenal di daerah yang terletak di perbatasan kota Sengkang ini.
Namun untuk membandingkan keaslian sutra milik saya ini, saya lebih memilih mengunjungi desa Pasaka, kecamatan Sabbangparu. Di sana saya punya banyak sanak keluarga yang berprofesi sebagai penenun. Jumlah penenun di desa ini tak kalah banyak dibandingkan di Sempange. Hanya saja nama desa ini kurang dikenal karena letaknya lumayan terpencil dari kota Sengkang. Lagipula jalanan menuju desa ini belum mulus. Karena letaknya tak jauh dari sungai, maka bila sungai meluap di musim hujan, terkadang air naik ke permukaan jalanan.
Di rumah seorang tante di desa Pasaka terdapat alat tenun. Orang Bugis menyebutnya tennung bola-bola yang arti harfiahnya “alat tenun rumah-rumahan” –mungkin karena modelnya seperti kerangka rumah atau karena ditempatkan di kolong rumah. Saya lalu memperlihatkan sarung sutra hadiah dari ibu itu. Beberapa penenun yang sedang berkumpul beristirahat secara bersamaan mengatakan itu bukan sarung sutra asli, meski bahannya sutra juga.
“Tongeng sa makkeda sa’be ero, tapi’na narekko idi pakkibu sa’be masitta yisseng makkeda palsunna ero.”
Maksudnya, “Memang itu adalah sutra, tapi kami yang penenun sangat mudah mengetahui ini sutra palsun.” Demikian kata salah seorang penenun di sana.
Saat ini kebanyakan penenun sutra Sengkang tak lagi menenun benang sutra asli dalam negeri. Juga tak semua komponen kain berbahan sutra. Hal ini dikarenakan produsen benang sutra dalam negeri sudah sulit ditemukan. Tentunya harga bahan bakulah yang menyebabkan hal itu terjadi. Mau tak mau para penenun pun harus mencari akal agar tak rugi.
Immas, salah satu penenun sutra di desa Pasaka sedang mengerjakan tenunan dengan benang sutra India. Jenis kain yang ia buat pun bukanlah sarung. Melainkan kain untuk bahan pakaian.
Menenun adalah pekerjaan yang sulit. Sebelum memulai kegiatan dorong tarik jakka tennung atau sisir tenun, benang helai per helai dimasukkan dalam tiap are’. Selanjutnya helai per helai kembali dimasukkan dalam sisir tenun. Ini khusus untuk tennung bola-bola atau tenun rumah-rumahan.
Biasanya tennung bola-bola lebih banyak digunakan untuk membuat berpuluh meter kain. Sedangkan untuk membuat sarung menggunakan tennung walida, tenunan ini tidak terlalu banyak menggunakan alat besar dan rumit seperti tennung bola-bola.
Namun Immas lebih memilih menenun menggunakan tennung bola-bola karena menggunakan alat ini ia tak perlu mengeluarkan modal materi sepeser pun. Segala sesuatunya dibiayai oleh tetangganya yang memang disebut bos tennung. Mulai dari alat tenun sampai pada benang ditanggung oleh sang pemilik tenunan. Immas hanya tinggal menenun benang yang telah disediakan.
Bos tennung Immas bernama Cora. Ia memiliki banyak tennung bola-bola dan dipinjamkan pada orang-orang yang ingin menenun. Immas membawa tennung bola-bola pinjaman Cora ke kolong rumahnya agar ia bisa leluasa mengerjakan pekerjaan rumah di sela kesibukannya menenun.
Kali ini Cora memberikan pekerjaan tenun kain sepanjang 150 meter kepada Immas. Dalam sehari Immas hanya mampu menenun sepanjang 4- 5 meter. Perempuan berusia 23 tahun ini mengaku belum terlalu lihai menenun, jika dipaksa untuk menenun banyak, hasilnya tidak akan memuaskan. Kadang-kadang setelah cukup 20 meter, Cora akan datang untuk memotong kain yang telah jadi. Immas digaji Rp2500 per meter. Sedangkan hasil tenunan Immas dijual seharga Rp25.000 per meter. Tentu saja keuntungan penjualan itu menjadi hak bos tennung sepenuhnya.
Sebagian besar perempuan seusia Immas dan belum berkeluarga di desa ini lebih memilih menjalani profesi penenun. Meskipun ada satu dua yang bekerja di kota Sengkang sebagai penjaga toko. Mereka merasa terbantu dengan kehadiran para bos tennung. Katanya, lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Di desa ini saya juga bertemu penenun yang sudah renta. Ia dipanggil Fukkami’ oleh orang yang lebih muda.
Di wilayah kampung Wage-nama dulu desa Pasaka, Fukkami’ adalah satu-satunya penenun berusia lanjut yang masih menenun. Namun ia lebih memilih memakai tennung walida karena ia bisa menenun di teras rumahnya. Mengingat ia juga tidak terlalu banyak memiliki tenaga untuk menginjak ajena tennung bola-bola, pedal yang harus secara terus menerus diinjak oleh penenun.
Kini, Fukkami’ adalah satu-satunya penenun yang masih menggunakan tennung walida di desa ini. Menenun dengan menggunakan tennung walida membutuhkan banyak proses. Tenunan ini milik Fukkami’ pribadi. Seluruh proses produksi hingga penjualan, ditangani sendiri oleh perempuan ini.
Untuk membuat sebuah sarung sutra, Fukkami’ membutuhkan waktu 10-30 hari. Sarung yang ia buat adalah sarung sutra asli. Selembar sarung ia jual seharga Rp300.000-Rp400.000. Dari hasil penjualan selembar sarung saja, ia mengaku sangat terbantu untuk membiayai hidupnya seorang diri, setelah suaminya meninggal dan anak-anaknya merantau di Kalimantan.
“Biasanya banyak orang seumuranku menenun tetapi kini semuanya sibuk mengurus anaknya. Saya sendirian saja, tidak lagi mengurus apa-apa,” tutur Fukkami’ sambil memperlihatkan beberapa sarung karyanya.
Sayang sekali ketika saya datang, Fukkami’ telah merapikan seluruh alat tenunnya. Ia baru saja selesai mengerjakan selembar sarung sutra.
Saat saya membandingkan sarung sutra yang ada di tangan, ternyata memang sangat berbeda sarung sutra buatan Fukkami’. Sarung buatannya mengkilap dan agak keras. Sedangkan milikku lembek dan tidak memancarkan kilau.
Ah, hadiah darimu bukan sutra asli, Ibu! (p!)
Selasa, 05-08-2008
Mungkin tak banyak yang tahu saban pagi ada pasar kaget di belakang RS Wahidin Sudirohusodo, Tamalanrea. Di sinilah sejumlah pedagang datang menjajakan kebutuhan bagi pasien maupun penjenguknya. Perlengkapan mandi, daster, pakaian juga makanan buat sarapan.
Para pedagang yang berkumpul membuat pasar kaget di belakang gedung rumah sakit ini adalah penduduk yang dulunya tinggal di kawasan kampus Unhas Tamalanrea. Tiga puluh tahun lalu, mereka bermukim di areal yang kini berdiri gedung Registrasi Unhas. Dengan iming-iming akan diganti uang tanah, mereka terpaksa pindah. Namun sampai saat ini, hanya sebagian ganti rugi. Disepakati kemudian, mereka pindah dengan syarat bisa berjualan di tempat yang sekarang ini dikenal sebagai pasar kaget di belakang rumah sakit.
Di pasar ini, jenis jajanan yang banyak dijumpai di sana adalah kue-kue tradisional. Salah satunya adalah putu cangkiri yang dijajakan Hj. Jauwiyah yang mengaku kue ini sangat mudah dibuat. Tahu kan putu cangkiri? Kue sederhana yang nikmati disantap hangat-hangat, terbuat dari tepung beras dengan isi parutan kelapa di tengahnya. Soal namanya, mengapa disebut putu cangkiri, konon karena bentuknya yang mirip dengan bagian bawah cangkir bila hasil cetakan kue ini diletakkan terbalik.
Ada dua jenis putu cangkiri. Merah dan putih. Yang pertama menggunakan gula merah, sedangkan jenis kedua menggunakan gula putih.
Hj. Jauwiyah menjelaskan, cara membuatnya memang sangat sederhana, gula dibasahi lalu dicampurkan dengan tepung beras dengan cara diremas-remas. Setelah tercampur rata, adonan tepung beras dan gula itu siap cetak di atas jolo-jolo. Di bagian tengahnya diisi dengan parutan kelapa muda sebelum dikukus. Agar putu cangkir ini tidak lengket saat ditata di piring, diberikan potongan daun pisang atau pandan berbentuk persegi ukuran 3×3 cm di bagian bawahnya.
“Sebentar sekali ji itu na masak, tidak cukup satu menit!” tutur Hj. Jauwiyah.
Menurutnya, jika ingin mencobanya di rumah, Anda bisa menyediakan satu kilogram tepung beras dengan gula setengah kilogram dan kelapa dua biji. Hasilnya mencapai lima puluh biji putu cangkiri. Tapi harap dicatat, cara memasaknya mesti hari-hati agar putu ini tidak rusak atau terburai bila lama mengukusnya tidak pas.
Kue ini termasuk jajanan murah meriah. Dengan modal Rp2.000 Anda bisa menikmati tiga biji putu cangkiri buatan Hj. Jauwiyah. Jika tertarik, datanglah ke belakangan Rumah Sakit Wahidin di pagi hari. Tapi ingat, jangan sampai terlambat! Sebelum pukul delapan putu cangkiri ini biasanya sudah habis.
Namun jika ingin menikmati putu cangkiri di sore hari dan malam hari, beberapa tempat yang bisa menjadi pilihan lain adalah penjaja putu cangkiri di depan Pasar Pa’baeng-baeng, di Jalan Sulawesi, Jalan Sangir dan di penjual Songkolo’ Bagadang Antang, di sekitar perempatan Pasar Daya, dan Jalan Sungai Saddang Baru.
Susah-susah gampang
Nah, sekarang mari kita temui penjual putu cangkiri lainnya bernama Hasna. Enam bulan terakhir ini ia menjajakan putu cangkiri di Jalan Sungai Saddang Baru. Sebelumnya ia hanya pedagang warung rumahan di kediamannya Jalan Andi Tonro. Lalu lintas yang sering macet di depan rumah dan banyaknya tetangga yang mengutang, menjadi alasan ia berusaha keras mencari tahu cara membuat putu cangkiri agar bisa banting stir menjadi penjaja kue tradisional ini. Mulai dari bertanya-tanya pada orang terdekat, mengunjungi penjual putu cangkiri terkenal di Makassar, sampai harus merongoh uang sebesar Rp500.000 untuk berguru pada penjual putu cangkiri yang ada di Pasar Pa’baeng-baeng.
Namun hal itu pun belum membuatnya puas. Membuat putu cangkiri adalah pekerjaan yang susah-susah gampang. Setelah berguru pada pedagang yang lebih senior dan terkenal tadi, putu cangkiri buatannya belum bisa ia kategorikan sebagai putu yang bagus. Nanti setelah seorang penggemar putu cangkiri yang kebetulan mencicipi buah tangannya, ia mendapat kesempatan diajarkan bagaimana membuat putu cangkiri yang lezat. Akhirnya wanita kelahiran Sengkang, Wajo, ini percaya diri merintis usaha barunya. Apa tips dan trik itu? Ia enggan mengungkapkannya.
Sejak awal memulai usaha, lokasi berjualan Hasna tak pernah berpindah hingga kini. Di depan sebuah bengkel mobil. Jika bengkel itu banyak pelanggan dan tutup larut malam, ia akan menjajakan putu cangkirinya di depan gardu keponakannya. Ia menjual mulai pukul 3 sore hingga pukul 12 malam. Jika sedang laris, ia tentu bisa pulang beristirahat lebih awal.
Jarak antara rumah dan tempat berjualan Hasna yang lumayan jauh bukanlah penghalang baginya. Peralatan-peralatannya ia titip di gardu keponakan. Ia menganggap keponakannya seperti anak sendiri. Ia cukup membawa bahan dari rumah.
“Tidak terlalu repotma, Nak, baru amanji di sini!”
Satu hal lagi yang menjadikan usaha ini disebut susah-susah gampang sebab bahan-bahannya tak semurah yang dulu. Jika diminta menghitung berapa keuntungan per hari, Hasna yang memiliki nama kecil Indo Ucu ini angkat tangan.
“Untungnya sedikit ji, ndak tentu juga.”
Hasnah enggan menyebut angka pastinya. “Ndak bisa diomong,” katanya.
Ia hanya merinci harga bahan-bahannya. Gula merah Rp12.000 per kilogram. Minyak tanah Rp4.000 per liter. Kelapa Rp4.000 per butir. Tepung beras Rp8.000 per kilogram. Jika menggunakan gula putih sedikit lebih murah, dengan harga gula pasir Rp6.400 per kilogram.
Berbeda dengan pedagang putu cangkiri di Pasar Pa’baeng-baeng yang biasa menghabiskan dua puluh liter adonan. Setiap hari Hasna hanya menyiapkan empat liter adonan putu cangkiri.
Harga bahan yang melonjak membuat Hasna terpaksa menaikkan harga putu cangkirnya. Rp500 per biji menjadi Rp700. Tentu saja, kata Hasna, kenaikan harga ini mengurangi jumlah pelanggannya.
Menurut Hasna, putu cangkiri buatannya sedikit lebih mahal namun berkualitas, tidak seperti pembuat putu cangkiri lainnya yang mengandalkan sari manis demi menekan harga.
Untuk melengkapi usaha putu cangkirinya, Hasna juga menjajakan rokok batangan yang dipajang di lemari kecil yang menjadi satu-satunya etalase gerai jualannya yang sederhana.
Enam bulan berdagang, cukup membuahkan hasil. Dari berjualan putu cangkiri, Hasna bisa membeli dua buah becak buat suaminya. Jika tak ada panggilan menjadi buruh bangunan atau mengecat rumah, suaminya bisa menarik becak.
Bagi Hasna, “Putu cangkiriji kubilang masuk akal,” Maksudnya, inilah mata pencaharian yang masuk akal bagi dirinya. (p!)
Para pedagang yang berkumpul membuat pasar kaget di belakang gedung rumah sakit ini adalah penduduk yang dulunya tinggal di kawasan kampus Unhas Tamalanrea. Tiga puluh tahun lalu, mereka bermukim di areal yang kini berdiri gedung Registrasi Unhas. Dengan iming-iming akan diganti uang tanah, mereka terpaksa pindah. Namun sampai saat ini, hanya sebagian ganti rugi. Disepakati kemudian, mereka pindah dengan syarat bisa berjualan di tempat yang sekarang ini dikenal sebagai pasar kaget di belakang rumah sakit.
Di pasar ini, jenis jajanan yang banyak dijumpai di sana adalah kue-kue tradisional. Salah satunya adalah putu cangkiri yang dijajakan Hj. Jauwiyah yang mengaku kue ini sangat mudah dibuat. Tahu kan putu cangkiri? Kue sederhana yang nikmati disantap hangat-hangat, terbuat dari tepung beras dengan isi parutan kelapa di tengahnya. Soal namanya, mengapa disebut putu cangkiri, konon karena bentuknya yang mirip dengan bagian bawah cangkir bila hasil cetakan kue ini diletakkan terbalik.
Ada dua jenis putu cangkiri. Merah dan putih. Yang pertama menggunakan gula merah, sedangkan jenis kedua menggunakan gula putih.
Hj. Jauwiyah menjelaskan, cara membuatnya memang sangat sederhana, gula dibasahi lalu dicampurkan dengan tepung beras dengan cara diremas-remas. Setelah tercampur rata, adonan tepung beras dan gula itu siap cetak di atas jolo-jolo. Di bagian tengahnya diisi dengan parutan kelapa muda sebelum dikukus. Agar putu cangkir ini tidak lengket saat ditata di piring, diberikan potongan daun pisang atau pandan berbentuk persegi ukuran 3×3 cm di bagian bawahnya.
“Sebentar sekali ji itu na masak, tidak cukup satu menit!” tutur Hj. Jauwiyah.
Menurutnya, jika ingin mencobanya di rumah, Anda bisa menyediakan satu kilogram tepung beras dengan gula setengah kilogram dan kelapa dua biji. Hasilnya mencapai lima puluh biji putu cangkiri. Tapi harap dicatat, cara memasaknya mesti hari-hati agar putu ini tidak rusak atau terburai bila lama mengukusnya tidak pas.
Kue ini termasuk jajanan murah meriah. Dengan modal Rp2.000 Anda bisa menikmati tiga biji putu cangkiri buatan Hj. Jauwiyah. Jika tertarik, datanglah ke belakangan Rumah Sakit Wahidin di pagi hari. Tapi ingat, jangan sampai terlambat! Sebelum pukul delapan putu cangkiri ini biasanya sudah habis.
Namun jika ingin menikmati putu cangkiri di sore hari dan malam hari, beberapa tempat yang bisa menjadi pilihan lain adalah penjaja putu cangkiri di depan Pasar Pa’baeng-baeng, di Jalan Sulawesi, Jalan Sangir dan di penjual Songkolo’ Bagadang Antang, di sekitar perempatan Pasar Daya, dan Jalan Sungai Saddang Baru.
Susah-susah gampang
Nah, sekarang mari kita temui penjual putu cangkiri lainnya bernama Hasna. Enam bulan terakhir ini ia menjajakan putu cangkiri di Jalan Sungai Saddang Baru. Sebelumnya ia hanya pedagang warung rumahan di kediamannya Jalan Andi Tonro. Lalu lintas yang sering macet di depan rumah dan banyaknya tetangga yang mengutang, menjadi alasan ia berusaha keras mencari tahu cara membuat putu cangkiri agar bisa banting stir menjadi penjaja kue tradisional ini. Mulai dari bertanya-tanya pada orang terdekat, mengunjungi penjual putu cangkiri terkenal di Makassar, sampai harus merongoh uang sebesar Rp500.000 untuk berguru pada penjual putu cangkiri yang ada di Pasar Pa’baeng-baeng.
Namun hal itu pun belum membuatnya puas. Membuat putu cangkiri adalah pekerjaan yang susah-susah gampang. Setelah berguru pada pedagang yang lebih senior dan terkenal tadi, putu cangkiri buatannya belum bisa ia kategorikan sebagai putu yang bagus. Nanti setelah seorang penggemar putu cangkiri yang kebetulan mencicipi buah tangannya, ia mendapat kesempatan diajarkan bagaimana membuat putu cangkiri yang lezat. Akhirnya wanita kelahiran Sengkang, Wajo, ini percaya diri merintis usaha barunya. Apa tips dan trik itu? Ia enggan mengungkapkannya.
Sejak awal memulai usaha, lokasi berjualan Hasna tak pernah berpindah hingga kini. Di depan sebuah bengkel mobil. Jika bengkel itu banyak pelanggan dan tutup larut malam, ia akan menjajakan putu cangkirinya di depan gardu keponakannya. Ia menjual mulai pukul 3 sore hingga pukul 12 malam. Jika sedang laris, ia tentu bisa pulang beristirahat lebih awal.
Jarak antara rumah dan tempat berjualan Hasna yang lumayan jauh bukanlah penghalang baginya. Peralatan-peralatannya ia titip di gardu keponakan. Ia menganggap keponakannya seperti anak sendiri. Ia cukup membawa bahan dari rumah.
“Tidak terlalu repotma, Nak, baru amanji di sini!”
Satu hal lagi yang menjadikan usaha ini disebut susah-susah gampang sebab bahan-bahannya tak semurah yang dulu. Jika diminta menghitung berapa keuntungan per hari, Hasna yang memiliki nama kecil Indo Ucu ini angkat tangan.
“Untungnya sedikit ji, ndak tentu juga.”
Hasnah enggan menyebut angka pastinya. “Ndak bisa diomong,” katanya.
Ia hanya merinci harga bahan-bahannya. Gula merah Rp12.000 per kilogram. Minyak tanah Rp4.000 per liter. Kelapa Rp4.000 per butir. Tepung beras Rp8.000 per kilogram. Jika menggunakan gula putih sedikit lebih murah, dengan harga gula pasir Rp6.400 per kilogram.
Berbeda dengan pedagang putu cangkiri di Pasar Pa’baeng-baeng yang biasa menghabiskan dua puluh liter adonan. Setiap hari Hasna hanya menyiapkan empat liter adonan putu cangkiri.
Harga bahan yang melonjak membuat Hasna terpaksa menaikkan harga putu cangkirnya. Rp500 per biji menjadi Rp700. Tentu saja, kata Hasna, kenaikan harga ini mengurangi jumlah pelanggannya.
Menurut Hasna, putu cangkiri buatannya sedikit lebih mahal namun berkualitas, tidak seperti pembuat putu cangkiri lainnya yang mengandalkan sari manis demi menekan harga.
Untuk melengkapi usaha putu cangkirinya, Hasna juga menjajakan rokok batangan yang dipajang di lemari kecil yang menjadi satu-satunya etalase gerai jualannya yang sederhana.
Enam bulan berdagang, cukup membuahkan hasil. Dari berjualan putu cangkiri, Hasna bisa membeli dua buah becak buat suaminya. Jika tak ada panggilan menjadi buruh bangunan atau mengecat rumah, suaminya bisa menarik becak.
Bagi Hasna, “Putu cangkiriji kubilang masuk akal,” Maksudnya, inilah mata pencaharian yang masuk akal bagi dirinya. (p!)
Langganan:
Postingan (Atom)